Senin, 12 Oktober 2015

KULTUR BUDAYA BALI NGABEN

Ngaben 

PENDAHULUAN 

Latar Belakang
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu: Jasmani dan Rohani. Menurut agama Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis, yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira, dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar, badan yang dilahirkan karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral atau badan hallus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan nafsu (Citta, Manah, Indriya, dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.
Ketika manusia itu meninggal, Suksma Sarira dengan Atma aakan pergi meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini merupakan penderitaan bagi Atma.

Untuk tidak terlalu lama Atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya diupacarakan untuk mempercepat proses kembainya kepada sumbernya di alam. Demikian juga bagi Sang Atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut Ngaben. Kalau upacara Ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut bhuta cuwil, dan atmanya akan mendapatkan neraka.
Maksud dan Tujuan Ngaben
Setelah diketahui apa yang menjadi latar belakang upacara ngaben itu, maka dapatlah dirumuskan maksud dan tujuan upacara itu. Secara garis besarnya, ngaben itu dimaksudkan adalah :
Untuk memproses kembalinya atau mengembalikan unsur yang menjadikan badan atau ragha kepada asalnya di alam ini, dan
Untuk mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya dengan badan duniawi (ragha sarira).
Dalam perjalanan Atma itu perlu bekal atau "beya" yang merupakan oleh-oleh bagi saudara empatnya yang sudah menunggu dalam wujud sebagai kala, yaitu: Dorakala, Mahakala, Jogor Manik, Suratma. Dengan bekal atau beya itu diharapkan Atma dapat kembali dengan selamat. Kemudian yang menjadi tujuan upacara ngaben adalah agar ragha sasira cepat dapat kembali kepada asalnya di alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh karenanya, ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu meningga segera harus diaben.

Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang Yudhistira mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal Kurusetra, seketika hanya dengan saraa "Catur wija". Para pembesar India seperti Nyonya Indira Gandhi, dalam waktu singkat sudah diaben. Tidak ada upakara yang menjelimet, hanya pperlu "Pancaka" tempat pembakaran, kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang terus menerus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara. Diberikan menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak keluarga, menunggu hari baik menurut sasih (bulan) dan lain-lain. tetapi jangan menunggu lewat setahun, kalau lewat bisa menjadi bhuta cuil sawa itu. Jadi sebenarnya kita di Bali hanya diberikan kesempatan tidak lewat setahun. Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa harus dipendhem (dikubur) di setra (kuburan). Untuk tidak menyebabkan suatu hal yang tidak diinginkan, sawa yang dipendhempun dibuatkan upacara-upacara tirtha pangentas (air suci). Dan proses pengembalian ragha sarira kepada alam akan berjalan dalan upacara maphendem ini.
Jadi tujuan upacara ngaben pada pokoknya yaitu:
Melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi.
Untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan.
Untuk mendapatkan sorga pagi Sang Pitra.


 TEORI 

Kultur Ngaben 


Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali, Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.

Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi (tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.

Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang berpendapat dari  kata ngabu yang berarti menjadi abu.  Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api. Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan mengembalikan roh pada Sang Pencipta.



Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan melaksanakan upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham. Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut tidak berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh jahat dari jenasah.

Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur yaknik Lembu atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya memerlukan waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan Ngaben.

Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti sebuah pesta dan memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang yang melakukan upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian. Saat ini, masyarakat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan untuk sementara waktu sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.



Tidak ada komentar :

Posting Komentar