Minggu, 03 Januari 2016

Potret Kehidupan Masyarakat Perbatasan

Kami Tak Menyesal Jadi Orang Indonesia Tetapi Malaysia Beri Kami Kehidupan

Isu mengenai adanya warga negara Indonesia (WNI) yang juga memiliki tanda pengenal warga negara Malaysia memang bukan sekadar isu. Seperti dituturkan Laksmi, warga yang memiliki dua identitas kewarganegaraan.
Laksmi, perempuan paruh baya, biasa berbelanja di Malaysia.  Apa yang dilakukannya semata-mata agar bisa bertahan hidup. “Kalau belanja di Malaysia barangnya lebih murah dan tersedia semua, berbeda dengan di sini.”
Ironis, akibat kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya dalam bidang pembangunan, sejumlah WNI di daerah perbatasan mengancam (bahkan sudah ada yang pindah) akan pindah kewarganegaraan ataupun mengibarkan bendera Malaysia.
Sudah sekian lama tuntutan perbaikan Infrastruktur jalan di Kalimantan, khususnya di daerah perbatasan, disuarakan oleh empat gubernur di Kalimantan. Sayangnya, anggaran dana APBN, keputusan ada di tangan pemerintah pusat.
“Padahal, sudah banyak kekayaan alam yang diambil dari bumi Kalimantan yang dimanfaatkan untuk kepentingan nasional. Kekayaan alam pulau ini tidak dapat dinikmati oleh kami,” kata Laksmi.
Pernyataan Laksmi diamini oleh beberapa warga lainnya. Menurut mereka, Malaysia menyediakan sarana dan prasarana air bersih dan penerangan bagi WNI di wilayah Indonesia. Seandainya mendapatkan izin, Malaysia bahkan bersedia membuatkan jalan yang layak untuk saudara mereka yang tinggal di Indonesia.
Hubungan yang baik terjalin antara WNI dan warga negara Malaysia di perbatasan, seperti satu keluarga, meskipun dipisahkan oleh batas negara. Namun, tampak terlihat perbedaan pembangunan di perbatasan kedua negara ini, Indonesia jauh tertinggal dari Malaysia.
Ancaman dari WNI yang hidup di daerah perbatasan untuk berpindah kewarganegaraan ataupun mengibarkan bendera Malaysia semakin bertambah. Seperti dikutip TV One pada tahun 2012, Kepala Desa Mungguk Gelombang, Kalimantan Timur, Yusak, menyatakan bahwa masyarakat di desanya, selain Desa Mungguk Gelombang, Ketungau Tengah, Maniau, Sintang, dan daerah lain di perbatasan, termasuk juga di Kalimantan Barat, akan mengibarkan bendera Malaysia. Mereka merasa sudah sangat lama tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, terutama infrastruktur wilayah yang sangat buruk.
Pemerintah Malaysia sudah bertahun-tahun membantu menyediakan sarana dan prasarana air bersih bagi mereka. Warga merasa lebih dihargai daripada di negeri sendiri. Akibatnya, perayaan 17 Agustus tidak semeriah peringatan hari kemerdekaan Malaysia.
Di Samarinda, anggota DPRD Kaltim, Abdul Djalil Fatah, menyatakan bahwa masyarakat di perbatasan Kaltim-Malaysia, khususnya yang tinggal di Krayan Selatan, sudah meminta pemerintah memperhatikan nasib mereka. Bila tidak, mereka mengancam akan hengkang menjadi warga negara Malaysia.
Tokoh masyarakat di Kalbar, Hendrikus Adam, mengungkapkan kondisi yang sangat buruk telah memicu perpindahan identitas warga di daerah perbatasan Kalbar-Malaysia seperti di Entikong, Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapus Hulu.
“Di Desa Suruh Tembangan, puluhan warga sudah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia, termasuk 61 penduduk Dusun Gun Jamak, Desa Suruh Tembawang Kecamatan Entikong Sanggau, Kalbar,” tutur Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, Kalbar.
Pengamat masalah perbatasan, Saibansah Dardani, menyatakan bahwa masalah utama masyarakat di perbatasan bukan soal nasionalisme, melainkan karena tidak ada perhatian dari pemerintah pusat. Akibatnya, warga hidup dalam serba keterbatasan.
Masyarakat di perbatasan lebih mudah mengakses siaran TV Malaysia ketimbang TV Indonesia. Mudahnya mereka mendapatkan informasi dari Malaysia berdampak emosional, terutama kepada anak-anak. Secara tidak langsung anak-anak di perbatasan beranggapan bahwa mereka merupakan bagian dari negara Malaysia.
“Permasalahan di wilayah perbatasan bukan karena masyarakat sudah terkikis nasionalismenya, tetapi kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang dinilai lamban dalam membangun infrastruktur dan ekonomi di wilayah perbatasan,” ujarnya.
Dia pun meminta pemerintah untuk segera melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dan pembangunan ekonomi di titik-titik perbatasan. Hal itu perlu dilakukan untuk menghilangkan ancaman warga berpindah kewarganegaraan ataupun mengibarkan bendera negara lain.
Infrastruktur, terutama jalan, sudah sekian lama menjadi “PR” di pulau yang kaya akan sumber daya alam ini. Kekayaan alam yang diambil dari bumi Kalimantan sebagian harus dikembalikan lagi ke daerah, khususnya untuk pembangunan infrastruktur transportasi.
Bagaimana tidak, pulau yang kaya akan batu bara ini infrastruktur jalannya kurang memadai. Padahal, batu bara Kalimantan dikirim ke daerah lain dan juga ke luar negeri untuk pembangunan jalan dan bahan bakar pembangkit tenaga listrik serta keperluan lain.
Hal ini juga dikuatkan oleh Rahung Nasution, pemerhati kebudayaan tradisi yang ada di Indonesia, saat dia melakukan penelitian di Kalimantan Barat. “Sudah 69 tahun Indonesia merdeka dan selama itu pulalah warga perbatasan Indonesia-Malaysia tidak merasakan pembangunan seperti yang ada di Pulau Jawa,” ujarnya pada Citizen Daily di Jakarta beberapa waktu lalu.
Jangan sampai ada cerita guyon yang menggambarkan perbedaan Indonesia dan Malaysia. “Saat di dalam bus menuju Malaysia, kita tidak perlu melihat keluar jendela untuk mengetahui posisi. Cukup merasakan, apakah tidur kita nikmat atau tidak. Bila ya, berarti kita sudah tiba di Malaysia. Bila terus terjaga, artinya, kita masih di Indonesia.”

Sabtu, 02 Januari 2016

Kasus Omni Internasional Hospital

PENDAHULUAN
Sejarah Omni Internasional Hospital
merupakan sebuah rumah sakit swasta diIndonesia yang dikelola oleh PT. Sarana Mediatama Internasional dan berlokasi di kawasan perumahan Alam Sutera,Serpong Utara, Tangerang Selatan. Rumah sakit Omni Internasional merupakan cabang usaha dari kelompok Rumah Sakit Omni Medical Center (OMC) yang didirikan pada tahun 1972.
kontrovesi
·         Penambahan kata Internasional di nama rumah sakit menurut Menteri Kesehatan IndonesiaSiti Fadilah Supari adalah salah karena Rumah Sakit bernama Omni bukannya rumah sakit internasional hanya namanya saja dan merupakan rumah sakit swasta dalam negeri yang bernama Omni Internasional yang tidak terdapat kepemilikan asing  dan pada rumah sakit tersebut tidak pula terdapatkan informasi mengenai adanya standar International Hospital berdasarkan ISO - International Organization for Standardization 
·         Komisi IX DPR RI yang membidangi kesehatan akan memanggil direksi Rumah Sakit Omni International Alam Sutera Tangerang (Banten) untuk diminta penjelasan terkait kasus yang menimpa Prita Mulyasari. 

KASUS
Kasus tersebut bermula saat Prita Mulyasari memeriksakan kesehatannya di RS Internasional Omni atas keluhan demam, sakit kepala, mual disertai muntah, kesulitan BAB, sakit tenggorokan, hingga hilangnya nafsu makan. Oleh dokter rumah sakit, dr. Hengky Gosal, Sp.PD dan dr. Grace Herza Yarlen Nela, Prita didiagnosis menderita Demam berdarah, atau Tifus. Setelah dirawat selama empat hari disertai serangkaian pemeriksaan serta perawatan, gejala awal yang dikeluhkan berkurang namun ditemukan sejenis virus yang menyebabkan pembengkakan pada leher.[6] Selama masa perawatan Prita mengeluhkan minimnya penjelasan yang diberikan oleh dokter atas jenis-jenis terapi medis yang diberikan, di samping kondisi kesehatan yang semakin memburuk yang diduga akibat kesalahan dalam pemeriksaan hasil laboratorium awal menyebabkan kekeliruan diagnosis oleh dokter pemeriksa.[5] Disebabkan karena pengaduan serta permintaan tertulis untuk mendapatkan rekam medis serta hasil laboratorium awal yang tidak dapat dipenuhi oleh pihak rumah sakit Prita kemudian menulis surat elektronik tentang tanggapan serta keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke sebuah milis.[7] Surel tersebut kemudian menyebar luas sehingga membuat pihak rumah sakit merasa harus membuat bantahan atas tuduhan yang dilontarkan oleh Prita ke media cetak serta mengajukan gugatan hukum baik secara perdata maupun pidana dengan tuduhan pencemaran nama baik.[8][9]
Pada tanggal 11 Mei 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memenangkan gugatan perdata pihak rumah sakit dengan menyatakan Prita terbukti melakukan perbuatan yang merugikan pihak rumah sakit sehingga harus membayar kerugian material sebesar Rp161 juta sebagai pengganti uang klarifikasi di koran nasional dan Rp100 juta untuk kerugian immaterial.[10] Pada tanggal 13 Mei 2009 oleh Kejaksaan Negeri Tangerang Prita dijerat dengan pasal 310 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta dinyatakan harus ditahan karena dikhawatirkan akan melarikan diri serta menghilangkan barang bukti.[11] Pada tanggal 3 Juni 2009 Prita dibebaskan dari LP Wanita Tangerang, dan status tahanan diubah menjadi tahanan kota.[12] Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 Pengadilan Negeri Tangerang mencabut status tahanan kota.[13]
Melalui persidangan yang dilakukan di Pengadilan Negeri Tangerang tanggal 25 Juni 2009, Majelis hakim menilai bahwa dakwaan jaksa penuntut umum atas kasus Prita Mulyasari tidak jelas, keliru dalam penerapan hukum, dan tidak memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan Pasal 143 ayat 2 huruf b KUHAP, oleh karenanya melalui persidangan tersebut kasus Prita akhirnya dibatalkan demi hukum. [14][15]
Majelis hakim Pengadilan Negeri Tangerang memutuskan Prita Mulyasari (32) tidak terbukti secara sah melakukan pencemaran nama baik terhadap RS Omni International Alam Sutera Serpong Tangerang Selatan, Selasa (29/12/2009). Keputusan itu dibacakan majelis hakim yang diketuai Arthur Hangewa.[1]

Gelombang dukungan dan protes[sunting | sunting sumber]

Kasus penahanan yang menimpa Prita Mulyasari memunculkan gelombang protes serta dukungan dari para blogger, praktisi teknologi informasi, hukum, hingga para politisi, dan pejabat negara. Sampai tanggal 5 Juni 2009 dukungan terhadap Prita di Facebook hampir mencapai 150 ribu anggota, begitu pula dukungan melalui blog yang disampaikan para blogger terus bertambah setiap harinya. [16][17] Beberapa kalangan menilai Prita tidak layak ditahan serta hanya menjadi korban penyalahgunaan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, tak kurang pula Megawati Soekarnoputri ikut menilai Prita merupakan korban neoliberalisme.[18][19][20] Besarnya dukungan serta simpatisan atas kasus ini membuat Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, meminta penjelasan dari Kapolri dan Jaksa Agung, serta meminta seluruh jajaran penegak hukum untuk memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat dalam menjalankan tugas.[21]

SUDUT PANDANG TERHADAP ETIKA BISNIS
Isu pencemaran nama baik[sunting | sunting sumber]
Rumah Sakit Omni Internasional menjadi terkenal di Indonesia utamanya terkait dengan kasus pencemaran nama baik yang dituduhkan oleh pihak rumah sakit kepada salah seorang mantan pasiennya, Prita Mulyasari, karena menulis keluhan atas pelayanan rumah sakit yang tidak memuaskan melalui milis, surat pembaca, serta media publikasi internet lain yang membuat Prita harus mendekam sebagai tahanan selama dua puluh hari.