Ngaben
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Manusia terdiri dari dua unsur yaitu: Jasmani dan Rohani. Menurut agama
Hindu manusia itu terdiri dari tiga lapis, yaitu Raga Sarira, Suksma Sarira,
dan Antahkarana Sarira. Raga Sarira adalah badan kasar, badan yang dilahirkan
karena nafsu (ragha) antara ibu dan bapak. Suksma Sarira adalah badan astral
atau badan hallus yang terdiri dari alam pikiran, perasaan, keinginan, dan
nafsu (Citta, Manah, Indriya, dan Ahamkara). Antahkarana Sarira adalah yang
menyebabkan hidup atau Sanghyang Atma.
Ketika manusia itu meninggal, Suksma Sarira dengan Atma aakan pergi
meninggalkan badan. Atma yang sudah begitu lama menyatu dengan Sarira, atas
kungkungan Suksma Sarira, sulit sekali meninggalkan badan itu. Padahal badan
sudah tidak dapat difungsikan, lantaran beberapa bagiannya sudah rusak. Hal ini
merupakan penderitaan bagi Atma.
Untuk tidak terlalu lama Atma terhalang perginya, perlu badan kasarnya
diupacarakan untuk mempercepat proses kembainya kepada sumbernya di alam.
Demikian juga bagi Sang Atma perlu dibuatkan upacara untuk pergi ke alam pitra
dan memutuskan keterikatannya dengan badan kasarnya. Proses inilah yang disebut
Ngaben. Kalau upacara Ngaben tidak dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup
lama, badan kasarnya akan menjadi bibit penyakit, yang disebut bhuta cuwil, dan
atmanya akan mendapatkan neraka.
Maksud dan Tujuan Ngaben
Setelah diketahui apa yang menjadi latar belakang upacara ngaben itu, maka
dapatlah dirumuskan maksud dan tujuan upacara itu. Secara garis besarnya,
ngaben itu dimaksudkan adalah :
Untuk memproses kembalinya atau mengembalikan unsur yang menjadikan badan
atau ragha kepada asalnya di alam ini, dan
Untuk mengantarkan Atma ke alam Pitra dengan memutuskan keterikatannya
dengan badan duniawi (ragha sarira).
Dalam perjalanan Atma itu perlu bekal atau "beya" yang merupakan
oleh-oleh bagi saudara empatnya yang sudah menunggu dalam wujud sebagai kala,
yaitu: Dorakala, Mahakala, Jogor Manik, Suratma. Dengan bekal atau beya itu
diharapkan Atma dapat kembali dengan selamat. Kemudian yang menjadi tujuan
upacara ngaben adalah agar ragha sasira cepat dapat kembali kepada asalnya di
alam ini dan bagi atma dengan selamat dapat pergi ke alam Pitra. Oleh
karenanya, ngaben sesungguhnya tidak bisa ditunda-tunda. Mestinya begitu
meningga segera harus diaben.
Agama Hindu di India sudah menerapkan cara ini sejak dulu kala. Sang
Yudhistira mengabenkan para pahlawan yang gugur di medan juang di Tegal
Kurusetra, seketika hanya dengan saraa "Catur wija". Para pembesar
India seperti Nyonya Indira Gandhi, dalam waktu singkat sudah diaben. Tidak ada
upakara yang menjelimet, hanya pperlu "Pancaka" tempat pembakaran,
kayu-kayu harum sebagai kayu apinya dan tampak mantram-mantram atau kidung yang
terus menerus mengalun. Agama Hindu di Bali juga pada prinsipnya mengikuti
cara-cara ini. Cuma saja masih memberikan alternatif untuk menunggu sementara.
Diberikan menunggu sementara, mungkin dimaksudkan untuk berkumpulnya para sanak
keluarga, menunggu hari baik menurut sasih (bulan) dan lain-lain. tetapi jangan
menunggu lewat setahun, kalau lewat bisa menjadi bhuta cuil sawa itu. Jadi
sebenarnya kita di Bali hanya diberikan kesempatan tidak lewat setahun.
Sementara menunggu waktu setahun untuk diaben, sawa harus dipendhem (dikubur)
di setra (kuburan). Untuk tidak menyebabkan suatu hal yang tidak diinginkan,
sawa yang dipendhempun dibuatkan upacara-upacara tirtha pangentas (air suci).
Dan proses pengembalian ragha sarira kepada alam akan berjalan dalan upacara
maphendem ini.
Jadi tujuan upacara ngaben pada pokoknya yaitu:
Melepaskan Sang Atma dari ikatan duniawi.
Untuk mendapatkan keselamatan dan kesenangan.
Untuk mendapatkan sorga pagi Sang Pitra.
TEORI
Kultur Ngaben
Ngaben merupakan upacara kremasi atau pembakaran jenazah di Bali,
Indonesia. Upacara adat Ngaben merupakan sebuah ritual yang dilakukan untuk
mengirim jenazah pada kehidupan mendatang. Dalam upacara ini, jenazah
diletakkan dengan posisi seperti orang tidur. Keluarga yang ditinggalkan pun
akan beranggapan bahwa orang yang meninggal tersebut sedang tertidur. Dalam
upacara ini, tidak ada air mata karena mereka menganggap bahwa jenazah hanya
tidak ada untuk sementara waktu dan menjalani reinkarnasi atau akan menemukan
peristirahatan terakhir di Moksha yaitu suatu keadaan dimana jiwa telah bebas
dari reinkarnasi dan roda kematian. Upacara ngaben ini juga menjadi simbol
untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal.
Dalam ajaran agama Hindu, jasad manusia terdiri dari badan halus (roh atau
atma) dan badan kasar (fisik). Badan kasar dibentuk oleh lima unsur yang
dikenal dengan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur ini terddiri dari pertiwi
(tanah), teja (api), apah (air), bayu (angin), dan akasa (ruang hampa). Lima
unsur ini menyatu membentuk fisik dan kemudian digerakkan oleh roh. Jika seseorang
meninggal, yang mati sebenarnya hanya jasad kasarnya saja sedangkan rohnya
tidak. Oleh karena itu, untuk menyucikan roh tersebut, perlu dilakukan upacara
Ngaben untuk memisahkan roh dengan jasad kasarnya.
Tentang asal usul kata Ngaben sendiri ada beberapa pendapat. Ada yang
mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata beya yang berarti bekal. Ada yang
berpendapat dari kata ngabu yang berarti
menjadi abu. Selain itu, ada pula yang
mengatakan bahwa Ngaben berasal dari kata Ngapen yakni penyucian dengan api.
Dalam kepercayaan Hindu, dewa Brahwa atau dwa pencipta dikenal sebagai dewa
api. Oleh karena itu, upacara ini juga bisa dianggap sebagai upaya untuk
membakar kotoran yang berupa jasad kasar yang masih melekat pada roh dan
mengembalikan roh pada Sang Pencipta.
Bagi masyrakat di Bali, Ngaben adalah momen bahagia karena dengan
melaksanakan upacara ini, orang tua atau anak-anak telah melaksanakan kewajiban
sebagai anggota keluarga. Oleh sebab itu, upacara ini selalu disambut dengan
suka cita tanpa isak tangis. Mereka percaya bahwa isak tangis justru hanya
menghambat perjalanan roh mencapai nirwana.Hari yang sesuai untuk melakukan
upacara Ngaben biasanya didiskusikan dengan para tetua atau orang uang paham.
Tubuh jenasah akan diletakkan di dalam sebuah peti. Peti ini diletakkan di
dalam sebuah sarcophagus yang berbentuk lembu atau diletakkan di sebuah wadah
berbentuk vihara. Wadah ini terbuat darI kertas dan kayu. Bentuk vihara atau
lembu ini dibawa menuju ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi tersebut
tidak berjalan pada satu jalan lurus karena bertujuan untuk menjauhkan roh
jahat dari jenasah.
Puncak Upacara adat Ngaben adalah prosesi pembakaran keseluruhan struktur
yaknik Lembu atau vihara tadi berserta dengan jenasah. Prosesi Ngaben biasanya
memerlukan waktu yang cukup lama. Bagi jenasah yang masih memiliki kasta
tinggi, ritual ini bisa dilakukan selama 3 hari. Namun, untuk keluarga yang
kastanya rendah, jenasah harus dikubur terlebih dahulu baru kemudian dilakukan
Ngaben.
Upacara Ngaben di Bali biasanya dilakukan secara besar-besaran seperti
sebuah pesta dan memakan biaya yang banyak. Oleh sebab itu, tidak sedikit orang
yang melakukan upacara Ngaben dalam selang waktu yang lama setelah kematian.
Saat ini, masyarakat Hindu di Bali banyak yang melakukan upacara Ngaben secara
massal untuk mengemat biaya. Jadi, jasad orang yang sudah meninggal dimakamkan
untuk sementara waktu sambil menunggu biayanya mencukupi. Namun, bagi keluarga
yang mampu, Upacara adat Ngaben bisa dilakukan secepatnya.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar