Kami Tak Menyesal Jadi Orang
Indonesia Tetapi Malaysia Beri Kami Kehidupan
Isu mengenai adanya warga negara
Indonesia (WNI) yang juga memiliki tanda pengenal warga negara Malaysia memang
bukan sekadar isu. Seperti dituturkan Laksmi, warga yang memiliki
dua identitas kewarganegaraan.
Laksmi, perempuan paruh baya,
biasa berbelanja di Malaysia. Apa yang dilakukannya semata-mata agar bisa
bertahan hidup. “Kalau belanja di Malaysia barangnya lebih murah dan tersedia
semua, berbeda dengan di sini.”
Ironis, akibat kurang
mendapatkan perhatian dari pemerintah, khususnya dalam bidang pembangunan,
sejumlah WNI di daerah perbatasan mengancam (bahkan sudah ada yang pindah) akan
pindah kewarganegaraan ataupun mengibarkan bendera Malaysia.
Sudah sekian lama tuntutan perbaikan Infrastruktur jalan di
Kalimantan, khususnya di daerah perbatasan, disuarakan oleh empat gubernur di
Kalimantan. Sayangnya, anggaran dana APBN, keputusan ada di tangan pemerintah
pusat.
“Padahal, sudah banyak kekayaan
alam yang diambil dari bumi Kalimantan yang dimanfaatkan untuk kepentingan
nasional. Kekayaan alam pulau ini tidak dapat dinikmati oleh kami,” kata Laksmi.
Pernyataan Laksmi diamini oleh
beberapa warga lainnya. Menurut mereka, Malaysia menyediakan sarana dan
prasarana air bersih dan penerangan bagi WNI di wilayah Indonesia. Seandainya
mendapatkan izin, Malaysia bahkan bersedia membuatkan jalan yang layak untuk
saudara mereka yang tinggal di Indonesia.
Hubungan yang baik terjalin
antara WNI dan warga negara Malaysia di perbatasan, seperti satu keluarga,
meskipun dipisahkan oleh batas negara. Namun, tampak terlihat perbedaan
pembangunan di perbatasan kedua negara ini, Indonesia jauh tertinggal dari
Malaysia.
Ancaman dari WNI yang hidup di
daerah perbatasan untuk berpindah kewarganegaraan ataupun mengibarkan bendera
Malaysia semakin bertambah. Seperti dikutip TV
One pada tahun 2012, Kepala Desa Mungguk Gelombang, Kalimantan Timur,
Yusak, menyatakan bahwa masyarakat di desanya, selain Desa Mungguk Gelombang,
Ketungau Tengah, Maniau, Sintang, dan daerah lain di perbatasan, termasuk juga
di Kalimantan Barat, akan mengibarkan bendera Malaysia. Mereka merasa sudah
sangat lama tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, terutama infrastruktur
wilayah yang sangat buruk.
Pemerintah Malaysia sudah
bertahun-tahun membantu menyediakan sarana dan prasarana air bersih bagi
mereka. Warga merasa lebih dihargai daripada di negeri sendiri. Akibatnya,
perayaan 17 Agustus tidak semeriah peringatan hari kemerdekaan Malaysia.
Di Samarinda, anggota DPRD
Kaltim, Abdul Djalil Fatah, menyatakan bahwa masyarakat di perbatasan
Kaltim-Malaysia, khususnya yang tinggal di Krayan Selatan, sudah meminta
pemerintah memperhatikan nasib mereka. Bila tidak, mereka mengancam akan
hengkang menjadi warga negara Malaysia.
Tokoh masyarakat di Kalbar,
Hendrikus Adam, mengungkapkan kondisi yang sangat buruk telah memicu
perpindahan identitas warga di daerah perbatasan Kalbar-Malaysia seperti di
Entikong, Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapus
Hulu.
“Di Desa Suruh Tembangan,
puluhan warga sudah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Malaysia,
termasuk 61 penduduk Dusun Gun Jamak, Desa Suruh Tembawang Kecamatan Entikong
Sanggau, Kalbar,” tutur Imran Manuk, Kepala Desa Suruh Tembawang, Kalbar.
Pengamat masalah perbatasan,
Saibansah Dardani, menyatakan bahwa masalah utama masyarakat di perbatasan
bukan soal nasionalisme, melainkan karena tidak ada perhatian dari pemerintah
pusat. Akibatnya, warga hidup dalam serba keterbatasan.
Masyarakat di perbatasan lebih
mudah mengakses siaran TV Malaysia ketimbang TV Indonesia. Mudahnya mereka
mendapatkan informasi dari Malaysia berdampak emosional, terutama kepada
anak-anak. Secara tidak langsung anak-anak di perbatasan beranggapan bahwa
mereka merupakan bagian dari negara Malaysia.
“Permasalahan di wilayah
perbatasan bukan karena masyarakat sudah terkikis nasionalismenya, tetapi
kekecewaan terhadap sikap pemerintah yang dinilai lamban dalam membangun
infrastruktur dan ekonomi di wilayah perbatasan,” ujarnya.
Dia pun meminta pemerintah
untuk segera melakukan percepatan pembangunan infrastruktur dan pembangunan
ekonomi di titik-titik perbatasan. Hal itu perlu dilakukan untuk menghilangkan
ancaman warga berpindah kewarganegaraan ataupun mengibarkan bendera negara lain.
Infrastruktur, terutama jalan,
sudah sekian lama menjadi “PR” di pulau yang kaya akan sumber daya alam ini.
Kekayaan alam yang diambil dari bumi Kalimantan sebagian harus dikembalikan
lagi ke daerah, khususnya untuk pembangunan infrastruktur transportasi.
Bagaimana tidak, pulau yang
kaya akan batu bara ini infrastruktur jalannya kurang memadai. Padahal, batu
bara Kalimantan dikirim ke daerah lain dan juga ke luar negeri untuk
pembangunan jalan dan bahan bakar pembangkit tenaga listrik serta keperluan
lain.
Hal ini juga dikuatkan oleh
Rahung Nasution, pemerhati kebudayaan tradisi yang ada di Indonesia, saat dia
melakukan penelitian di Kalimantan Barat. “Sudah 69 tahun Indonesia merdeka dan
selama itu pulalah warga perbatasan Indonesia-Malaysia tidak merasakan
pembangunan seperti yang ada di Pulau Jawa,” ujarnya pada Citizen Daily di Jakarta beberapa waktu
lalu.
Jangan sampai ada cerita guyon
yang menggambarkan perbedaan Indonesia dan Malaysia. “Saat di dalam bus menuju
Malaysia, kita tidak perlu melihat keluar jendela untuk mengetahui posisi.
Cukup merasakan, apakah tidur kita nikmat atau tidak. Bila ya, berarti kita
sudah tiba di Malaysia. Bila terus terjaga, artinya, kita masih di Indonesia.”